Kemarin, 8 Maret 2017, adalah Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day), yaitu sebuah peringatan atas perjuangan para perempuan sejak dulu untuk mendapatkan hak-hak yang acapkali diberangus oleh masyarakat.

This is another story of a strong young woman, named Firsta.

Firsta is one of the strongest woman I have ever known and met.

Saat usianya masih sangat belia, Firsta merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib bermodalkan ijazah SMA. Jatuh-bangun dialaminya dalam hal pekerjaan. Tapi susahnya tak mampu membuatnya urung untuk mengambil bagian dalam pelayanan Tuhan.

Perlahan namun pasti, Firsta berhasil mengumpulkan keping demi keping penghasilannya untuk mengambil kursus design (yang memang adalah passionnya) dan studi S1 di Universitas Terbuka. Firsta sadar, pendidikan adalah hal penting untuk masa depannya.

Bukan hal mudah untuk membagi waktu dan konsentrasi untuk belajar, bekerja, dan pelayanan. Tapi sesulit apa pun tantangan yang dihadapinya, Firsta lebih suka untuk tertawa.

Bukan tidak pernah ia merasa terjatuh. Tapi ia selalu berusaha bangkit dari setiap keterpurukannya.

Seperti saat itu, beberapa bulan sebelum pernikahannya, Mario (belahan jiwanya) baru diketahui menderita penyakit jantung bawaan. Alih-alih mengurungkan niat untuk melanjutkan persiapan pernikahannya, Firsta (dan Mario) dengan tegas dan tegar melanjutkan persiapan mereka untuk diberkati dalam pernikahan kudus.

Haru. Itulah suasana yang dirasakan saat janji suci di antara Firsta dan Mario, yang bersumpah untuk setia dalam segala keadaan, sampai maut memisahkan.

Dengan setia dan tegar, Firsta mendampingi Mario dalam proses pengobatannya. Namun ia terus berusaha tegar berdiri ketika 29 Mei 2016 Tuhan memanggil Mario beristirahat di rumah-Nya, tepat di usia 2 bulan pernikahan mereka. Berpisah untuk sementara, itu kata Firsta. Ia percaya, kelak mereka akan bersatu kembali.

Pertama kali Firsta kembali ke Jakarta setelah Mario menyatu dengan Semesta, Firsta menginap di kamarku. Dalam percakapan di Facetime saat ia dalam perjalanan, ia membuatku berjanji. “Kak Alent, jangan nangis ya kalau ketemu aku. Aku sudah terlalu sering menangis, Kak. Jadi aku mau kalian yang menguatkan aku.”

Tidak satu tetes air mata pun yang keluar saat kami berjumpa. Tapi ternyata ia menumpahkan seluruh duka dan gundahnya di dalam mobil hitam kesayangannya dan Mario. Firsta tidak ingin orang lain melihatnya menangis. Bukan, bukan karena ia ingin terlihat selalu kuat. Firsta hanya tidak ingin orang lain ikut bersedih karenanya. Ia mau agar orang lain bahagia atas kehadirannya.

Tapi menjelang ulang tahunnya, ia tak sanggup lagi menahan jerit dalam hatinya. Sesenggukan ia menangis, sampai dadanya sesak. Aku pun turut menangis, karena haru dan sedih yang menjadi satu saat menemaninya melihat foto dan video kenangan saat ia dan Mario masih berpacaran, saat Mario melamarnya dengan kejutan, saat mereka bertunangan, saat pernikahan suci dilangsungkan, saat berdua bernyanyi semasa pengobatan Mario, saat Mario mulai lemah dan tak sadarkan diri, bahkan saat Mario berpulang kepada Sang Hidup.

Harapannya saat itu, Mario dapat kembali dalam pelukannya. Bukannya Firsta tak tahu bahwa itu mustahil, ia hanya terlalu mencintai laki-laki yang sudah menjadi belahan jiwanya sejak 7 tahun lalu. Ia hanya terlalu merindukan kehadiran suaminya.

Usia 2 bulan pernikahan, yang seharusnya penuh romantisme, justru dihadapi Firsta dan Mario dengan pergumulan hebat yang tak sanggup membuat mereka menanggalkan iman kepada Sang Hidup. Kisah cinta Firsta dan Mario telah memberikan inspirasi bagi banyak orang, bahkan orang-orang yang tidak mengenal mereka.

Siapa sangka, perjuangan Firsta masih panjang. Belum sampai setahun duka melandanya karena kepulangan Mario ke rumah Bapa di Surga, Firsta mengalami kecelakaan hebat. Sebuah truk yang mengalami rem blong menabrak motor yang ditumpanginya dan melindas bagian bawah tubuhnya. Namun dalam keadaan terluka parah pun, ia masih sanggup menelepon Angel, adiknya untuk mengabarkan kecelakaan yang dialaminya.

Ketika paramedis seakan tak percaya tentang harapan hidup yang dimilikinya, Firsta tetap bertahan dan berjuang menjalani berbagai tindakan yang diperlukan selama 1 bulan terbaring di rumah sakit, termasuk menjalani 4 kali operasi.

Firsta adalah perempuan kuat. Itu yang tersirat dari ucapan dokter yang menanganinya. Dengan keadaan yang demikian parah, Firsta terus berusaha dan berjuang.

Namun tubuhnya kian melemah setelah operasi ke-4. Firsta pun akhirnya beristirahat dalam cinta untuk selamanya.

Usia memang tidak menjadi jaminan akan kedewasaan seseorang. Dalam usia yang masih sangat belia, berbagai peristiwa secara bertubi-tubi telah dialaminya. Peristiwa yang bagiku sendiri mungkin tak akan sanggup kuhadapi. Firsta adalah perempuan yang sangat kuat. Aku adalah salah satu saksi yang melihat perjuangannya.

Salah satu kekuatannya adalah konsistensinya mengetuk kamar kami malam-malam sekadar untuk mengobrol, yang terkadang membuat kami kewalahan sebab ia memiliki segudang cerita yang ingin dibagikan. 😂😃

Pertemanan kami bukan tanpa masalah. Tapi Firsta adalah orang yang selalu mengalah di dalamnya. Sifatnya yang mengalah adalah salah satu bukti kekuatannya. Ia mengalah untuk menang, memenangkan hati kami yang kini selalu merindukannya.

Beristirahatlah dalam cinta, Firsta, perempuan muda yang kuat dan dewasa dalam iman, pengharapan dan kasih.

Selamat Hari Perempuan, Firsta sayang. 😘

Love,
Alent – with Laurentia Firsta

View on Path

Being judged and accused for so many times makes someone get used to be blamed. She has been judged for what she does, and been accused for what she doesn’t.
Everything now seems to be unfair.
But she just sucks it up.

.Q. – at Mini Maison de Qui

View on Path

https://m.soundcloud.com/bunube/jawablah-langit

Lagu “Jawablah Langit” ini adalah buah cinta Laurentia Firsta Soeprapto​ dengan Mario yang telah dibuat dan diaransemen bersama sejak lama. Aku sudah jatuh cinta dengan lagu ini sejak pertama kali Firsta perdengarkan di kos untuk meminta masukan atas lagu ini. Dan kali ini, entah mengapa, sempat terbersit dalam benakku, mungkinkah Firsta tengah menengadah ke langit, menanti jawab atas peristiwa yang dialaminya. Marah, sedih, terluka, mungkin akan hadir silih berganti menghampirimu, Ta. Tapi setiap kamu merasa sendiri dan merindu Mario, lihatlah ke langit sana. Kenanglah ia dalam arak-arakan awan, sinar mentari, atau bahkan dalam hujan yang deras. Kenanglah ia dalam setiap tawa dan tangis yang kalian telah arungi bersama sejak 7 tahun silam. Karena meskipun raganya tak lagi bersamamu, menyentuhmu, memelukmu, cintanya abadi untukmu.

Aku diam di tempat ini
Pandangi langit yang tak pandangiku
Aku bertanya apa kabarnya
Apa yang sedang ia pikirkan
Apakah sama yang kau rasakan
Ataukah….

Mungkinkah bila aku menyapa
Ia akan menggubris diriku
Ingin bicara apa adanya
Tapi tak ingin singgung hatinya
Apakah sama yang kau rasakan
Kita berdua…
Mungkinkah marah, sedih, bahagia, atau terluka
Jawablah, langit… Jawablah aku… – with Laurentia, Pingkan, Samuel, and Livana

View on Path

This, is a heartbreaking story.

Dua sejoli, Mario dan Firsta, pemusik dan penyanyi, memutuskan untuk mengikat janji setia dalam pernikahan kudus tepat 2 bulan lalu setelah bertahun-tahun lamanya mereka pacaran untuk saling mengenal dan membangun.
Tak lama sebelum menikah, Mario diketahui menderita kelainan jantung sejak lahir, namun baru saja diketahui. Firsta tetap setiap mendampingi sambil mempersiapkan hari bahagia mereka.
Tepat 2 bulan lalu, 29 Mei 2016, dalam keadaan sakit, Mario mengucap syukur kepada Tuhan sebab dapat diberikan kesempatan untuk berdiri dan mengucap janji setia untuk mengarungi hidup hingga embus napas terakhirnya bersama Firsta.
Hari ini, 29 Juli 2016, Mario menepati janjinya. Ia mengembuskan napas terakhirnya dengan tetap mencintai Firsta, jantung hatinya.
Hari ini, tepat 2 bulan Mario dan Firsta menikah. Tak sempat bulan madu mereka rasakan. Tak ada makan malam romantis diadakan. Firsta harus merayakannya dalam ratap dan tangis, tapi ia tetap percaya Tuhan tahu yang terbaik untuknya dan untuk Mario.

Selamat jalan Mario, Tuhan telah memelukmu dalam keabadian. Dan Tuhan yang akan senantiasa menguatkan Firsta. Maut tak kuasa memisahkan cinta di antara kalian.

Beristirahat dalam damai, Mario, 29 Juli 2016.

With love,

Alent – with Laurentia, Pingkan, Samuel, and Livana

View on Path

Senyum dan gelak tawa bukan isyarat tak pernah adanya tangis dan amarah, melainkan lahir dari jiwa yang rindu saling melengkapi, melalui setiap tangis dan amarah, menggapai setiap asa dan cita. Setia. #QuiSam

View on Path

“All the gods, all the heavens, all the hells are within you.” -Joseph Campbell in “The Power of Myth” quoted in “13 Hours” movie. What a deep reflection. You can find those 3 elements within your self. Do you see g*d(s), or heaven or hell within your self? Or You can even create your own g*d(s), heaven and hell to fulfill your desire. You also can be g*d by deciding one’s life, be heaven by being one’s happiness, or be hell by taking one’s hope. How do you define your self?

“Segala tuhan, surga, neraka berada dalam dirimu.” -Joseph Campbell dalam “The Power of Myth” dikutip dalam film “13 Hours”. Sebuah refleksi yang dalam. Kita dapat menemukan ketiga elemen tersebut dalam diri kita. Apakah kita melihat t*han, atau surga atau neraka dalam diri kita? Atau kita bahkan dapat menciptakan t*han, surga dan neraka kita sendiri untuk memenuhi hasrat diri. Kita juga bisa menjadi t*han dengan menentukan kehidupan seseorang, surga dengan kebahagiaan bagi dirinya, neraka dengan merebut harapannya. Lantas, bagaimana kita menggambarkan diri kita? – with Samuel

View on Path

Pekatnya malam tak sanggup melenyapkan kenangan akan sinar wajahmu kala bercerita tentang kisahmu.
Dinginnya malam pun tak kuasa mencuri kenangan akan hangatnya kasih seorang Paman yang rela berjerih dan berlelah menyeberangi pulau untuk hadir di momen-momen terpenting para kemenakan, walau usiamu tak lagi muda.
Kini, Sang Hidup telah memelukmu dalam keabadian.
Duka merayap di relung hati kala harus melepaskanmu tanpa mampu mengucapkan selamat tinggal.
Tersenyumlah, Tulang dari surga. Bisikkan lagi nasihat kehidupan yang selalu Tulang lontarkan hingga subuh setiap kali Tulang bermalam di rumah kami.
Akan tiba kelak bagi kami untuk bersama denganmu di keabadian. Hingga saat itu tiba, izinkan kami terus mengenangmu dalam penantian..
Kami mengasihimu, Tulang 😢

-30 Juli 2015- – with Petra, Kristi, Loyce, Niko, Boyke, Surya, Roro, Lastri, and Altom

View on Path

Review untuk Rumah Makan Jambu Batu, Rawa Denok:

1. Tempat: saung bambu sederhana a la Sunda, ada yang umum dan private. Toilet perempuan ada 2, toilet laki- laki ada 2 (tapi belum sempat lihat keadaan di dalam toilet).
2. Nasi 2 porsi di bakul cukup banyak, malah masih kelebihan.
3. Ayam rica: ini rica beneran, bukan balado! Kebanyakan resto sering salah, makanan rica dibikinnya kaya balado. Ini pedasnya pas, kemanginya berasa! Ayamnya juga lunak karena 1 bagian (misal: dada) dipotong menjadi 3 bagian, jadi bumbunya juga meresap sampai ke tengah daging ayam.
3. Pepes tahu jamurnya oke, padat, dan bumbunya oke. Aroma terbakar dari daun pisang yang membungkus pepesanya makin membangun selera. Tapi jamur yang digunakan adalah jamur merang/jamur kancing.
4. Cah kangkung polosnya juga oke. Kalau kebanyakan resto memasak kangkung terlalu lembek, kangkung di sini masih crunchy!
5. Nah, kalau sate ayamnya kurang oke nih buat orang yang suka bumbu sate agak cair. Di sini, bumbu kacang untuk sate ayamnya agak kental!
6. Harga gimana harga? Menurut kami, harganya sesuai dengan apa yang kenikmatan yang didapat.

Dari skala 1-10, kami kasih nilai 8,5 untuk resto sederhana ini!

.Q.
April 11, 2015. – with Kristi, Gloria, and Samuel

View on Path

An Escape to Pangandaran: Green Canyon and Batu Karas Beach

1 2 3 4 5 678 9 10 11 12 13 151416 17 2118 2219 20   23  25 26 27 28 29 3230 31   3334

The escape plan was organized by the “Ultimate Finance Team-Up” of Kapanlagi.com. The trip started on February 27, 2015 at 11.30 PM from Bekasi, West Java. There where 11 persons and we divided into 2 groups, 6 persons on the first car and 5 persons on the second car. We arrived in Green Canyon, Pangandaran on February 28, 2015 at 7.00 AM.

With Rp. 500.000/person, we could enjoy the beautiful view of Pangandaran, especially in Green Canyon and Batu Karas Beach. It included the body rafting package from Guha Bau (Rp. 200.000/person), homestay (Rp. 600.000/home), snacks, meals, fuel for 2 cars, beach entrance ticket, etc.

The body rafting package (for about 4 hours exploration) included the pickup truck, helmet, life vest, outdoor shoes/sandals, dry bag, 4 instructors, lunch, and boat. We could still take pictures because the instructors helped us to captured our moments with my smartphone (trust me, don’t worry to trust the instructors!). They also helped us to climb the rock cliff or jump from the cliff, against the stream, and be ready to catch us when we couldn’t against the stream. For the homestay, it included parking lot, living room, 3 bedrooms (1 with AC and 2 with fans), 3 extra beds, cable TV, and 2 bathrooms.

For the body rafting, first of all, we went from Guha Bau Basecamp to the post of Guha Bau by a pickup truck. It was 15 minutes far. We could enjoy the uphill rocky road because of the green environment. Then, we did tracking for about 30 minutes to the first rock cliff, near the stinky bat cave. There, we jumped for the first time. But three of us didn’t jump because they were too scared, and one of the instructors helped them to reach the next spot. There were some interesting spots to climb and jump. But the most interesting spots were the Arus Setan (Devil Stream) because of the scary stream, Arus Blender (Blender Stream) because of the rocky and scary stream like a blender, Tebing Jamur (Mushroom Cliff) because of the form of the cliff was like mushroom.

After the body rafting, we took a rest in our homestay to fulfill our energy. We had our dinner in Tirta Bahari Restaurant, near the Guha Bau Basecamp. It was a Sundanese and seafood menu. Then, we went back to our house to sleep.

On March 1, 2015 (in the morning), we went to Batu Karas Beach. For me, there was no special view there. But I liked the sand that I could write or draw something there. Then, we went back to our homestay to get ready to go back to Jakarta!

With all the challenges that caused wounds, bruises, and the pain on my back, I can say that #Scoliosis can’t defeat me! I’m at a constant battle with my own body every day. And I know that I’m a warrior!

I thank God for the “Ultimate Finance Team-Up” and Guha Bau for the unforgettable moments. And I thank Samuel Butarbutar for inviting me to join the trip and encourage me to do the body rafting. I can’t wait to visit and enjoy other beautiful spots of Indonesia.

.Q.

March 2, 2015

Jika Aku Mati

Jika aku mati,
Sematkan aku di lubuk hatimu
Agar kelak tetap kau rasa dekap hangat pelukku

Jika aku mati,
Sisipkan aku di relung benakmu
Agar kelak tetap kau kenang sajak cinta dariku

Bilamana aku mati,     
Janganlah tangis kabung membasahi tanah peraduanku

Tatkala aku mati,
Sudilah syukur terucap iringi langkah kepergianku

Sebab,
Derita telah pergi,
Bahagia kini menanti.

Aku rindu mati.                          

.Q.
April 4, 2015